- kategori Berita 61742 Views

 Leluhur Bangsa Indonesia, mewarisi kepada generasi penerus berupa warisan budaya bangsa termasuk di dalamnya sejarah dan purbakala (Benda Cagar Budaya). Berbagai ragam benda bersejarah dan purbakala banyak tersisa di wilayah Kabupaten Tulungagung karena Kabupaten Tulungagung merupakan Daerah yang banyak rnemiliki peninggalan bersejarah dan purbakala.

Banyaknya peninggalan ini disebabkan lokasi Tulungagung, sangat strategis dan merupakan daerah yang berkembang pada masa kerajaan Kadiri hingga masa Kerajaan Majapahit.

Benda-benda tersebut, merupakan, bukti otentik yang menghubungkan jaman modern dengan masa lalunya. Dengan demikian diperlukan pelestarian yang seksama agar benda-benda tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Pelestarian benda-benda serta tempat bersejarah dan purbakala diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Oleh karena itu merupakan tanggung jawab kita untuk memelihara dan mengamankan benda-benda bersejarah dan purbakala serta situs guna pelestariannya.

Bangunan bersejarah di Kabupaten Tulungagung sangat banyak jumlahnya yang perlu kita lestarikan. Bangunan bersejarah tersebut diantaranya bangunan peninggalan zaman kerajaan nusantara, diantaranya situsdan candi. Beberapa bangunan sejarah yang ada di Kabupaten Tulungagung antara lain :

Boyolangu / Candi Gayatri

Candi Gayatri adalah reruntuhan candi Hindu yang berada di Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Pada bagian tangga batu candi ini terdapat tulisan angka 1289 Ç (1367 M) dan 1291 Çaka (1369 M), yang kemungkinan dipakai untuk menandai tahun pembuatan dari Candi Gayatri, yaitu pada zaman kerajaan Majapahit.

Di dalam kawasan candi ini terdapat satu candi induk dan dua candi perwara di sebelah selatan dan utaranya. Candi induk berukuran 11,40 m x 11,40 m, mempunyai arca Gayatri (arca wanita dari ratu Sri Rajapatni, nenek dari raja Hayam Wuruk)) dengan panjang 1,1 m, lebar 1 m dan tinggi 1,2 m. Pada candi perwara di sebelah selatan terdapat arca Nandi, arca Dwarapala dan arca Mahisasura Nandini. Pada candi perwara di sebelah utara terdapat dua patung yoni yang disangga oleh kepala naga, arca Ganesa dan sebuah patung Jaladwara.

Suasana di candi ini sangat sepi walaupun terletak di tengah desa. Halamannya ditutupi pohon-pohon. Ada tiga bangunan dan sebuah patung yang mungkin berupa bodhisavatta terletak di atas bangunan utama. Keadaan candi ini besar tetapi agak runtuh. Terdapat arca-arca Siwa di atas bangunan kecil dan di halaman. Menurut kitab Negarakertagama Candi Gayatri merupakan tempat pendharmaan Gayatri. Semasa hidupnya Gayatri (salah satu istri Raden Wijaya/ Krtarajasa Jayawardhana) dikenal sebagai pendeta wanita Budha Kerajaan Majapahit dengan gelar Rajapadmi, sehingga setelah meninggal Gayatri didharmakan sebagai Dhyani Budha Wairocana.  Candi tempat pendharmaan Gayatri ini bernama Pradjnaparamitapuri, dan dibangun pada tahun 1281 Saka hingga 1311 Saka sesuai dengan kronogram yang terpahat pada umpaknya. Pendirian Candi Gayatri yang bertahap tersebut dapat dilihat hingga kini, yakni dengan adanya struktur hiasan candi yang tumpang tindih dengan struktur kaki candi.

Kitab Negarakertagama di dalam pupuh II/1 menguraikan bahwa Puteri Gayatri alias Rajapatni pada usia lanjut menjadi wikuni/bhiksuni dan mangkat pada tahun 1350 M. Negarakertagama pupuh LXIII - LXIX menguraikan upacara pesta Sraddha pada tahun 1362 M sebagai peringatan dua belas tahun mangkatnya Rajapatni (Isteri Bhre Wijaya/pendiri Majapahit, yang juga ibu Tribhuwanottunggadewi). Negarakertagama pupuh XIX/1 memberitakan bahwa jenazah puteri Rajapatni dicandikan di Kamal Pandak, candi makamnya di Bayalangu yang dibangun pada tahun 1362 M disebut Prajnyaparamita puri. Baik tanah candi maupun arcanya diberkahi oleh pendeta Jnyanawidi. Prasasti Penanggungan 1296 M serta prasasti Kertarajasa 1305 M, memuji-muji kecantikan puteri Gayatri (puteri bungsu raja Kertanegara), dan oleh karenanya paling dikasihi oleh raja Kertarajasa (raja Majapahit pertama).

Atas petunjuk-petunjuk di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mungkin sekali arca Dewi Prajnyaparamita adalah merupakan arca puteri Gayatri (Rajapatni) yang dahulunya di letakkan di Candi Prajnyaparamita Puri di Bayalangu (Tulungagung). 

Prajnyaparamita adalah merupakan salah satu aspek seorang 'bodhisatwa' yang disebut paramita. Arti harafiahnya adalah : 'kesempurnaan dalam kebijaksanaan' yang merupakan salah satu dari enam atau sepuluh sifat transendental manusia. Istilah Dewi Pradjnyaparamita merujuk kepada personifikasi atau perwujudan konsep kebijaksanaan sempurna, yakni dewi kebijaksanaan transendental dalam aliran Budha Mahayana.

Candi ini menghadap ke arah barat dan ditemukan pada tahun 1914 dalam keadaan tertimbun tanah. Candi Gayatri ini juga disebut dengan nama Candi Boyolangu. Arca Gayatri itu bertatahkan cukup halus dan rapi, teapi kepala arca ini hilang karena kurang pengawasan. 

Bentuk arca menggambarkan perwujudan Dhyani Budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana)berhiasdaun teratai. Sikap tangan arca adalah Dharmacakramudra (mengajar).

Bangunan pertama disebut dengan bangunan induk perwara, karena bangunan ini berukuran lebih besar dibanding dengan bangunan kedua bangunan lainnya. Letak bangunan ini ditengah bangunan lainnya.

Bangunan induk perwara terdiri daridua teras berundak yang hanya tinggal bagian kakinya. Bentuk bangunan berdenah bujursangkar. Sedangkan sifat, nama dan tempat bagunan disebutkan dalam kitab Kesusastraan Nagarakertagama karangan Mpu Prapanca (masa Majapahit Pemerintahan Raja Hayam Wuruk ) bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri.

Bangunan perwara yang kedua berada di selatan bangunan induk. Keadaan bangunan hanya tinggal bagian kaki dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar 5,80 m. Adapun bangunan perwara ketiga berada di utara bangunan induk perwara. Kondisi bangunan sudah runtuh dan berdenah bujursangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing – masing 5,80m.

Melihat bentuk candi yang cukup mungil itu rasanya tidak seimbang dengan adanya beberapa umpak berukuran cukup besar disana. Karena umpak batu itu biasanya digunakan sebagai alas penyangga sebuah bangunan.

Bagian kepala dan anggota tangan arca hilang karena pengrusakan. Gayatri adalah salah satu dari keempat anak raja Kertanegara (Singosari) yang kemudian diwakili Raden Wijaya (Majapahit). Bentuk arca menggambarkan perwujudan Dhyani budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana) berhias daun teratai. Sikap tangan arca adalah Dharmacakramudra (mengajar). Badan arca dan padmasana tertatah halus dengan gaya Majapahit. Sedangkan jumlah umpak pada bangunan perwara ini ada tujuh buah.

Sumber lain menyebutkan bahwa candi ini merupakan penyimpanan abu jenazah Gayatri yang bergelar Rajapadmi, setelah jenazahnya dibakar di lokasi lain yang berdekatan.

Di bagian selatan Candi Boyolangu ini, seolah-olah melingkarinya, terdapat situs-situs lain yang berada di perbukitan. Bermula dari Gua Tritis di sebelah Barat Daya, terus ke Tenggara adalah situs-situs Goa Selomangkleng, Candi Dadi dan Goa Pasir. Jarak antara Boyolangu dan masing-masing situs berkisar antara 2 - 4 km.

Situs ini berada pada dataran yang berjarak hanya sekitar 6 km di sebelah selatan kota Tulungagung. Di sekitarnya cukup banyak situs lain yang dapat dikatakan se-zaman. Sekitar 1 km di sebelah timurnya terdapat Candi Sanggrahan yang menurut cerita merupakan tempat persinggahan pada saat menuju Candi Boyolangu atau Candi Gayatri.

Candi Dadi

 Candi Dadi Terletak di atas bukit dekat Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu pada ketinggian 900m di atas permukaan laut. Tahun pembangunan candi ini sampai sekarang tidak diketahui. Keindahan alam yang berada di puncak bukit kapur dapat dinikmati dari Candi Dadi dengan memandang pergunungan Wilis, kota Tulungagung dan tanah darat di sekitarnya. Untuk mencapai ke candi ini harus berjalan kaki selama setengah jam tetapi perjalanan ini sangat menyenangkan lewat perkebunan dan hutan alam. Candi ini dikelilingi perkebunan yang masih alami.

Ada cerita bahwa pohon “bonzai” pernah ditanam orang Jepang di bukit-bukit ini dan pohon itu masih dicari oleh orang setempat. Candi ini juga digunakan orang Jepang untuk bersembahyang. Ada rombongan pecinta alam dari Tulungagung yang sering mengunjuni Candi Dadi. Para Biksu juga mengunjungi candi ini untuk meditasi.

 Candi Dadi berada di tengah areal kehutanan dilingkungan RPH Kalidawir. Candi ini masuk wilayah Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul. Letaknya yang berada di puncak bukit membuat kita sedikit mengeluarkan tenaga untuk menikmati keindahannya karena kita wajib mendaki dengan menyusuri jalan setapak yang kanan kirinya adalah hutan dan lahan yang ditanami palawija oleh penduduk sekitar bukit, selama kurang lebih 50 menit dari desa Wajak Kidul ke arah selatan. Sesampainya di puncak bukit kita akan menjumpai kekokohan Candi Dadi dan yang tak kalah menariknya adalah kita bisa menikmati keindahan Kecamatan Boyolangu dan sekitarnya dari ketinggian. 

Candi ini merupakan candi tunggal yang tidak memiliki tangga termasuk hiasan maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak pada puncak sebuah bukit di lingkungan Pegunungan Walikukun. Denah Candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14m lebar 14m dan tinggai 6.5 m. Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3.35m dengan kedalaman 3m.

Berakhirnya kekuasaan Hayam Wuruk juga merupakan masa suram bagi kehidupan Agama Hindu. Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya agama islam. Dalam kondisi yang dermikian, penganut Hindu Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/ tradisi yang dimilikinya. Sebagaian besar memilih puncak- puncak bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian maupun pusat Pemerintahan. Candi Dadi adalah salah satu dari karya arsitektural masa itu sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV.

Selain sebagai tempat pemujaan dapat diduga bahwa candi tersebut dahulu berfungsi juga sebagai tempat pengabuan, pembakaran jenazah tokoh penguasa. Sifat keagamaan yang melatar belakangi pendiriannya secara tepat belum diketahui. Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya data yang mampu menunjuang upaya pengenalannya secara langsung. Meskipun demikian sumuran yang terdapat di bagian tengah bangunan tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk dari karakter sebuah pencandian berlatar keagamaan hindu.

Posisi candi pada puncak sebuah bukit yang cukup sulit untuk dijangkau, dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuno bahwa puncak gunung merupakan tanah suci. Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung sejak jaman prasejarah yang percaya bahwa arwah paraluluhur berada disana, masyarakat penganut budaya hindu juga memanfaatkan puncak-puncak gunung untuk meletakkan bangunan sucinya. Hal itu berkaitan dengan mitos keagamaan dengan mitos keagamaan Hindu yang menganggap bahwa tempat bersemayamnya para dewa adalah tempat yang tinggi.

Berkenaan dengan faham yang demikian itu, lingkungan alam disekitar Candi Dadi memang sangat mendukung. Berada pada puncak bukit yang mengahadap ke lembah utara ,karya arsitektur tersebut menggambarkan kemegahan. Tidak mengherankan bila disekitarnya, pada radius kurang 1 km, dijumpai sisa/bekas bangunan suci lain yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai candi Urung, Candi Buto dan candi Gemali. Semuanya menempati puncak-puncak bukit yang langsung berhadapan dengan lembah Boyolangu di sebelah utaranya.

Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampil pada setipa sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungfi sebagai sumuran. Saat ini situs dipergunakan sebagai obyek wisata dan pengenalan sejarah bagi siswa – siswa di lingkup Kabupaten Tulungagung,bahkan rombongan pelajar sering memanfatakan lingkungan sekitar untuk melakukan perkemahan.

Candi Penampian / Penampihan

 Candi yang unik ini terletak di lerengan Gunung Wilis di tengah kebun teh di Desa Geger, Kecamatan Sendang. Suasana sangat sepi dan ketika dan jarang ada orang melewati lokasinya. Udaranya sangat sejuk dan candinya ditutupi kabut. Menurut orang setempat kalau tidak kabut candi ini memiliki pemandangan gunung Wilis dan tanah datar di bawahnya yang spektakular. Di sebelah candi terdapat sungai kecil yang digunakan sebagai sumber air minum di desa Penampian.

Ada selamatan yang diadakan di sana untuk menyelamatkan desa di bawah dan supaya panennya baik. Menurut orang setempat selamatan ini mengingat nenek-moyangnya yang pernah tinggal di daerah itu. Selamatan itu menggunakan campuran bahasa Jawa dan Arab dan biasanya diadakan pada setiap malam Jumat. Jarang sekali ada wisatawan datang ke sana baik orang Indonsia maupun orang asing.

Situs ini merupakan sebuah candi berundak, teras yang membujur dari timur ke barat berada di lereng Tenggara Gunung Wilis. di bagian atas Altar terdapat sebuah prasasti yang berangka tahun 820 C. Selain itu terdapat banyak peninggalan-peninggalan yang lainnya antara lain dua buah Arca laki–laki dan sebuah Arca Ganesha  serta dua arca tokoh wanita dan sebuah bola batu.

 Candi Penampihan adalah candi Hindu kuno peninggalan kerajaan Mataram kuno yang merupakan candi Hindu kuno yang dibangun pada tahun Saka 820 atau 898 Masehi. Arti Penampihan itu sendiri konon berasal dari Bahasa Jawa yang berarti antara penolakan dan penerimaan yang bersyarat.

Candi Penampihan merupakan candi pemujaan dengan tiga tahapan (teras) yang dipersembahkan untuk memuja Dewa Siwa, dimana konon peresmian candi ini dengan mengadakan pagelaran Wayang (ringgit). Selanjutnya era demi era pergolakan perebutan kekuasaan dan politik di tanah jawa berganti mulai dari kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singosari, hingga Majapahit sekitar abad 9-14 M, candi ini terus digunakan untuk bertemu dan memuja Tuhan, Sang Hyang Wenang.

Di dalam kompleks Candi terdapat beberapa Arca yaitu arca Siwa dan Dwarapala, tetapi karena ulah Manusia yang tidak mencintai dan menghargai Heritage dan legacy dari nenek moyang beberapa arca telah hilang dan rusak. Untuk mengamankan beberapa arca yang tersisa yaitu arca siwa sekarang diletakan di museum situs Purbakala Majapahit Trowulan Jawa timur.

Selain Arca terdapat sebuah prasasti kuno yaitu Prasasti Tinulat tertulis dengan menggunakan huruf Pallawa dengan stempel berbentuk lingkaran di bagian atas prasasti. Berdasarkan Penuturan Bu Winarti umur 44 Tahun, juru kunci Candi Penampihan, prasasti itu berkisah tentang Nama-nama raja Balitung, serta seorang yang bernama Mahesa lalatan, siapa dia? Sejarah lisan maupun artefak belum bisa menguaknya. Serta seorang putri yang konon bernama Putri Kilisuci dari Kerajaan Kediri. Selain menyebutkan nama, prasasti itu juga memberikan informasi tentang Catur Asrama, yaitu sistem sosial masyarakat pada zaman itu dengan pengklasifikasian masyarakat (stratifikasi) berdasarkan kasta dalam agama Hindu yaitu Brahmana, Satria, Vaisya dan Sudra.

Masih di kompleks candi Penampihan terdapat 2 kolam kecil yang bernama Samudera Mantana (pemutaran air samudera), di mana menurut pengamatan empiris selama berpuluh-puluh oleh Bu Winarti, 2 kolam tersebut merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa. Kolam yang sebelah utara merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa bagian utara dan Kolam sebelah selatan merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa bagian selatan. Berdasarkan penuturan Bu Winarti, apabila sumber air di kedua kolam tersebut kering berarti keadaan air dibawah menderita kekeringan, sebaliknya bila kedua atau salah satu kolam tersebut penuh air berarti keadaan air di bawah sedang banjir.

 Jalan menuju lokasi saat ini sudah beraspal dan rabat beton, sehingga dapat ditempuh dengan kesana membawa sepeda motor langsung ke area lokasi candi. Area sekitar candi penampihan sejak jaman kolonial Belanda terkenal sebagai penghasil teh. Hal ini terbukti dari sisa-sisa puing bangunan peninggalan Belanda yang dulu menjadi saksi. Namun semenjak awal tahun 2000an karena harga teh yang tak stabil dan terus merugi perusahaan yang pengelolaannya dibawah Puskopad tersebut mengalami kebangkrutan. Lahan-lahan yang dahulu menjadi kebun teh kini dialih fungsikan untuk menanam tanaman sayur-mayur. Saat ini masih disisakan lahan sekitar 1 hektar di sekitar situs Candi.
Candi Penampihan merupakan candi Hindu, memiliki 3 teras dengan posisi Candi utama terletak di bagian paling atas. Bentuknya seperti timbunan padi sebagai perlambang kemakmuran.

Candi lain bentuknya seperti kura-kura yang dikelilingi arca naga. Mengenai candi yang susunannya berbentuk Kura-kura melambangkan perwujudan dewa-dewa Wisnu. Awalnya di atas candi ada arca Bima namun hilang. Teras kedua untuk tantri. Sedangkan di teras ketiga terletak prasasti. Prasasti tersebut bernama prasasti Tinulat.

Prasasti ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dengan cerita yang tertulis di prasasti, candi ini diperkirakan dibangun sekitar abad IX hingga X pada era kerajaan Mataram Hindu semasa era pemerintahan Dyah Balitung.

Diperkirakan raja putri tersebut adalah Dewi Kilisuci, Seorang raja putri dari kediri tertulis di Prasasti ada di bagian bawah. Di candi ini dulunya juga ada arca Dwarapala namun arca tersebut hilang di tahun 2000an. Di sebelah utara ada relief dengan menggunakan gambar 3 ekor Gajah. Ada gambar hewan - hewan yang hidup di daerah ini seperti kera, burung, ular, ayam. Candi Penampihan dulunya menjadi tempat pemujaan mulai era Mataram Hindu, Singosari, Kediri hingga Majapahit.

Di prasasti tersebut tercatat juga nama Wilis yang kemudian dikenal menjadi nama gunung ini. Wilis sendiri artinya hijau, subur. Konon legendanya Gunung Wilis dulunya merupakan gunung yang aktif. Karena terjadi Samudra Mertana atau pemutaran Air Samudera akhirnya terjadi perpindahan dan memunculkan banyak sumber air yang meredam aktifitas gunung sehingga sekarang Wilis tak lagi aktif. Mengenai asal-usul nama candi penampihan berawal dari kisah seorang pembesar dari Ponorogo yang jatuh hati dengan putri dari Kediri yaitu dewi kilisuci. Ternyata lamarannya ditolak kalaupun diterima ada begitu banyak  permintaan. Dari Kediri pulang kemudian mampir di daerah ini. Menggunakan candi ini sebagai tempat pemujaan dan menyepi. “Penampihan artinya penolakan. Bisa juga Tampi menerima namun dengan syarat” .

Candi Sanggrahan

 Terletak di Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu candi ini disebut Candi Cungkup orang setempat. Kaki candi ini luas sekali, tingginya dua meter dan di atas ada ruang yang ukurannya sama dengan seperempat lapangan sepak bola. Ada batu di sebelah tangga yang dahulu merupakan gapura. Bangunan utama agak runtuh tetapi masih mengesankan. Candi ini memiliki papan-papan tetapi tidak ada gambaran sama sekali.

Menurut juru kunci, yang tinggal di sebelah candi, dahulu sering ada orang yang datang untuk bersembahyang tetapi sekarang jarang sekali. Orang dari desa di sekitarnya kadang-kadang mengadakan selamatan di candi tetapi hanya kalau ada hajat. Mereka duduk di depan bangunan utama dan menggunakan campuran bahasa Arab dam Jawa. bangunan Candi tersebut terdiri dari sebuah bangunan induk dan dua buah sisa bangunan kecil lainnya. Bangunan induk berukuran panjang 12,60 m, ukuran lebar 9,05 m dan ukuran tingginya  5,86 m. Serta terdapat Arca Budha sebanyak 5 buah yang masing-masing mempunyai posisi Mudra yang berbeda.

Diriwayatkan dalam Kitab Negarakertagama sebagai tempat pendharmaan Bhre Paguhan dari masa Kerajaan Majapahit. Sedangkan dalam cerita rakyat Sina Wijoyo Suyono, Candi Sanggrahan dikenal sebagai tempat yang dipergunakan untuk beristirahatnya rombongan pembawa jenazah Gayatri (Rajapadmi) sebelum didharmakan di Candi Gayatri.

Dari segi arsitektur, Candi Sanggrahan merupakan komplek percandian yang dibangun dari kombinasi batu bata dan batu andesit. Komponen batu-bata secara umum mendominasi komplek percandian ini, yakni meliputi bagian selasar, gerbang, dan candi-candi perwara. Sedangkan batuan andesit hanya digunakan untuk menyusun bangunan utama. Pada bagian kaki candi terdapat relief yang diperkirakan merupakan bagian dari cerita Tantri Kamandaka. Relief tersebut menceritakan tentang seekor harimau yang tertipu oleh seekor kambing. Relief ini sering dijumpai pada candi-candi yang bercorak Budha, sehingga diperkirakan latar keagamaan Candi Sanggrahan adalah Budha.

 Candi berbentuk bujursangkar dan terdiri dari bangunan kaki, tubuh dan atap. Candi ini peninggalan Kerajaan Majapahit, dibangun sekitar tahun 1350, dulunya merupakan candi tempat penyimpanan abu kerabat raja Majapahit

Bagian kaki candi sangat luas, tinggi dua meter, terdapat dinding relief harimau. Di bagian tangga ada reruntuhan batu bekas gapura. Komplek Percandian Candi Sanggrahan sebenarnya merupakan sebuah komplek percandian. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, dua candi perwara yang berada di sebelah timur candi induk sudah runtuh dan tak bersisa. Sekarang, hanya candi induknya saja yang masih tegak berdiri.

Candi induk Sanggrahan menghadap ke barat dengan panjang 12.60m lebar 9.05 m tinggi 5.86 cm. Bagian atap candi telah runtuh dan yang tersisa adalah bagian kaki candi dan sedikit badan candi. Candi Sanggrahan sendiri merupakan candi yang unik karena disusun atas dua batu yang berbeda. Bagian dalam candi disusun dari batu bata, sedangkan bagian luarnya terbuat dari batu andesit. Hal demikian juga dapat kita temui pada Candi Simping, Candi Surowono dan Candi Induk Penataran.

Candi Sanggrahan juga minim relief maupun hiasan. Hanya terdapat relief singa yang berada dalam bidang persegi dan mengelilingi kaki candi. Selebihnya hanya bidang persegi kosong yang seharusnya berisi panil relief. Hal yang sama juga bisa dilihat di Candi Rimbi, bahkan kemungkinan besar bentuk Candi Sanggrahan tidak akan berbeda dengan Candi Rimbi jika kedua candi ini sama – sama dipugar.

Hal istimewa dari Candi Sanggrahan adalah adanya pagar penahan dari batu bata yang masih utuh serta memiliki tinggi dua meter. Pagar penahan ini dihiasi oleh ornamen belah ketupat dalam posisi tidur. Gerbang masuknya sendiri berada di sebelah barat dan harus menaiki tangga selebar setengah meter. Gapuranya sendiri sudah runtuh dan hanya menyisakan bagian kakinya saja.

Candi Sanggrahan memiliki taman yang terawat, indah serta bebas dari sampah. Tak ayal, Candi Sanggrahan pernah mendapat penghargaan sebagai Candi Terbersih se-Jawa Timur dan menjadikannya sangat layak untuk dikunjungi.

Membandingkan Candi Sanggrahan dengan candi-candi besar di Jawa Timur macam Candi Penataran jelas kalah populer. Namun untuk ukuran Tulungagung candi ini sudah relatif dikenal oleh masyarakat. Karena candi ini adalah yang paling besar ukurannya dibandingkan dengan peninggalan-peninggalan lain yang bertebaran di Tulungagung. Bahan candi terbuat dari batu andesit dan batu bata. Candi Sanggrahan merupakan bangunan yang berundak-undak yang terdiri atas batuan (lapisan paling bawah) yang tersusun atas batu bata, Candi Sanggrahan rnenghadap ke barat, karena di bagian itu ada tangga naik ke bilik candi. Namun biliknya sekarang sudah tiada.

Tidak beda dengan susunan candi pada umumnya, candi Sanggrahan juga dibagi atas bagian kaki, tubuh dan atap. Tetapi atap tersebut sekarang telah runtuh sama sekali. Pada kaki candi terdapat panil-panil dalam ukuran sama mengelilingi kaki candi. Antara kaki dan tubuh candi terdapat selasar sempit (semacam lantai yang sengaja dibuat untuk orang berjalan rnengelilingi candi). Bagian tubuh candi masih dalam keadaan baik, hanya bagian sisi sebelah barat yang sudah  rusak. Sehingga batu isian (batu bata yang ada di bagian dalam untuk penguat candi) sebagian kelihatan. Pada bagian tubuh candi terdapat bidang panil yang kosong tanpa relief.

Pada Candi Sanggrahan tidak diketemukan catatan sejarah atau pun prasasti yang menunjukkan kapan dan oleh raja siapa candi tersebut dibuat, tetapi mengenai sifat agamanya, Candi Sanggrahan dapat kita ketahui dari beberapa arca Budha di sekitar candi, Sehingga para ahli purbakala yang pernah meneliti candi itu berkesimpulan bahwa candi Sanggrahan bersifat agama Budha. Pada Tahun 2015 Candi Sanggrahan direhab oleh Balai Purbakala Trowulan.

Pada hari libur Candi Sanggrahan sering dikunjungi murid-murid SD dan TK untuk sekedar melihat-lihat. Pada hari raya Waisak di candi itu kadang-kadang juga sebagai tempat upacara ritual. Candi Sanggrahan meski tidak begitu terkenal tetapi merupakan salah satu bukti tingginya peradaban budaya nenek moyang masa lalu. Oleh karena itu diperlukan kesadaran untuk ikut menjaga warisan nenek moyang tersebut.

Candi Mirigambar

Terletak di Desa Mirigambar, Kecamatan Sumbergempol. Waulaupun agak sulit dicapai candi ini agak besar. Terletak di sebelah lapangan sepak bola dengan suasana yang tenang dan sepi. Keadaan bangunan ini agak runtuh dan dindingnya kemiringan. Masih ada relief-relief yang berkualitas tinggi.

Candi Mirigambar terbuat dari  Bahan dari Batu Bata, tampak pada Batur baru persegi, beserta sebuah undakan yang dipenuhi ornamen. Diperkirakan dibangun pada akhir Abad ke XIII hingga akhir Abad XIV pada jaman kerajaan Majapahit.

Kondisi candi yang tersusun dari batu bata ini telah runtuh tinggal menyisakan bagian kaki dan gapura.  Meskipun demikian keindahan seni pahat pada candi ini masih dapat dinikmati. Keindahan tersebut tercermin pada sisa-sisa reliefnya yang terpahat halus di permukaan batu bata. Relief tersebut mengisahkan tentang legenda Angling Dharma, sehingga Candi Mirigambar sering juga disebut dengan sebutan Candi Angling Dharma.

Pembangunan candi Mirigambar tergolong cukup lama, yakni sejak akhir pemerintahan Kertanegara (Singosari) hingga masa pemerintahan Hayam Wuruk (Majapahit). Banyaknya tinggalan-tinggalan lain di sekitar Candi Mirigambar, mengindikasikan bahwa dahulunya lokasi ini merupakan sebuah komplek percandian yang sangat luas. Sehingga tidak mengherankan jika pembangunannya memakan waktu yang cukup lama. Tinggalan-tinggalan lain yang berada di sekitar Candi Mirigambar antara lain Bekas Pemandian Mliwis Putih, Candi Tuban, dan reruntuhan candi lain 300 m di timur Candi Mirigambar.

Candi Ngampel / Ampel

 Terletak di Desa Joho, Kecamatan Kalidawir. Candi ini dikelilingi hutan dan suasananya sangat sepi. Dekat lokasi seorang dapat melihat bukit-bukit. Menurut orang setempat ini candi yang paling selatan di daerah ini sehingga memiliki arti tersendiri. Ada pohon yang menumbuh di atas candi. Bangungan utama yang dibuat dari batu-bata sekarang runtuh. Ada dua patung kecil dan altar di depan bangunan itu. Patung-patung ditutupi bangunan kayu dan bambu dan di depan patungnya terdapat lemping.

Ada selamatan setiap malam Jumat. Menurut orang setempat candi ini berkaitan dengan Joko Sindono (Banjisa Putra) seorang yang muncul dalam cerita rakyat setempat. Dalam selamatan mereka minta ijin kepada Joko Sindono supaya dia merelainya. Apabila ada hajat, orang dari desa di sekitarnya akan ke sana misalnya penikahan atau kalau ingin membangun atau merenovasi rumah. Doa yang dikatakan biasanya menggunakan campuran bahasa Arab dan Jawa.

Ada pula orang Hindu yang pernah mengunjungi candi ini tetapi biasanya hanya untuk sementara dan upacaranya tidak terlalu lama. Menurut orang setempat sumua patung-patung pernah dicuri. Dua patung tersebut dikembalikan ke lokasinya akan tetapi kebanyakan hilang.

 Candi Mirigambar didukung banyak peninggalan-peninggalan yang lainnya disekitar Candi antara lain Yoni dan dua buah Arca Dwarapala, sebuah Yoni dan beberapa balok batu Adesit.

Bagikan:

Copyright © dibuat dengan penuh Bappeda Kabupaten Tulungagung.